Koranradarseluma.net - Dalam eksepsi, tim penasihat hukum Tom Lembong menegaskan bahwa kliennya tidak memiliki kesalahan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Bahkan, ia menyebut kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi dan abuse of power oleh JPU. Sidang perdana kasus dugaan korupsi importasi gula yang menjerat eks Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (TTL) bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (6/3). Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua, Dennie Arsan Fatrika tersebut mengagendakan pembacaan dakwaan sekaligus eksepsi Tom Lembong.
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyampaikan terjadi kerugian negara sebesar Rp578,1 miliar terkait kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada tahun 2015–2016. Sehingga, perbuatan tersebut telah memperkaya beberapa pihak senilai Rp515,4 miliar. Tom Lembong didakwa dalam menerbitkan izin impor tanpa melalui prosedur yang semestinya dan bekerja sama dengan sejumlah pengusaha untuk mengendalikan harga gula di pasar. Selain itu, Tom diduga telah mengeluarkan Surat Pengakuan Impor/Persetujuan Impor GKM kepada beberapa perusahaan tanpa rapat koordinasi antar kementerian serta tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Beberapa perusahaan yang mendapat izin impor itu antara lain PT Angels Products, PT Makassar Tene, PT Sentra Usahatama Jaya, PT Medan Sugar Industry, PT Permata Dunia Sukses Utama, PT Andalan Furnindo, PT Duta Sugar International, PT Berkah Manis Makmur, dan PT Kebun Tebu Mas.
Selain itu, jaksa menilai Thomas Lembong menyalahgunakan kewenangannya dengan memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan gula rafinasi yang tidak berhak mengolah GKM menjadi Gula Kristal Putih (GKP). Bahkan, impor GKM ini dilakukan saat produksi dalam negeri sudah mencukupi dan bertepatan dengan musim giling tebu, sehingga berpotensi merugikan petani lokal.
Tak hanya itu, Thomas juga diduga telah menunjuk koperasi kepolisian dan TNI-Polri untuk mengendalikan stok dan harga gula, alih-alih memberikan tugas tersebut kepada perusahaan BUMN yang lebih berkompeten dalam stabilisasi harga dan distribusi pangan. PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) juga disebut ikut serta dalam pengaturan harga jual gula kepada distributor di atas Harga Patokan Petani (HPP).
Atas perbuatannya, jaksa menilai tindakan Thomas Lembong mengakibatkan ketidakseimbangan pasar dan potensi kerugian bagi negara, serta bertentangan dengan prinsip tata kelola perdagangan yang seharusnya dijalankan sesuai regulasi. Tom dijerat dengan Pasal 3 jo Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Eksepsi Tom Lembong
Dalam sidang perdana tersebut, Tom Lembong langsung menyampaikan eksepsi. Juru bicara tim penasihat hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, menegaskan bahwa kliennya tidak memiliki kesalahan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Bahkan, ia menyebut kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi dan abuse of power oleh JPU. "Terdapat beberapa fakta yuridis yang menjadi poin penting betapa Tom Lembong tidak memiliki kesalahan apapun untuk disangkakan sebagai pelaku tindak pidana korupsi," ujar Ari dalam persidangan. "Hal itu sekaligus menunjukkan betapa kasus ini adalah bentuk kriminalisasi dan tindakan abuse of power JPU terhadap Tom Lembong," tambahnya.
Dalam eksepsinya, tim penasihat hukum Tom Lembong mengungkapkan tiga kejanggalan utama dalam dakwaan JPU. Pertama, Pengadilan Tipikor PN Jakpus tidak berwenang mengadili kasus ini. Sebab, dugaan pelanggaran yang disangkakan kepada Tom Lembong berkaitan dengan pangan, yang diatur dalam UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan dan UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Sementara itu, UU Pengadilan Tipikor (UU 46 Tahun 2009) Pasal 6 huruf c membatasi kewenangan Pengadilan Tipikor hanya untuk perkara yang diatur dalam UU Tipikor. Dakwaan JPU tidak mencantumkan Pasal 14 UU Tipikor, sehingga menurut tim penasihat hukum, kasus ini tidak bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Kedua, perhitungan kerugian negara tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Berdasarkan audit BPKP RI dalam Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas dugaan korupsi dalam importasi gula, ditemukan perhitungan kerugian negara. Namun, laporan tersebut tidak menemukan cukup bukti untuk membuktikan adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
Oleh karena itu, menurut tim penasihat hukum, seharusnya penyidik tidak melanjutkan kasus ini sebagai perkara pidana, melainkan menyerahkannya kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi terkait seperti Kementerian Keuangan untuk menyelesaikannya dalam ranah perdata.
Ketiga, transaksi keuangan yang dijadikan dasar dakwaan tidak dilakukan oleh Tom Lembong. Tim kuasa hukum juga menyoroti ketidaktepatan JPU dalam menetapkan Tom Lembong sebagai terdakwa. Mereka menjelaskan bahwa transaksi yang dijadikan dasar untuk menyatakan adanya kerugian negara termasuk pembayaran pajak, bea masuk, dan jual beli gula yang tidak dilakukan oleh Tom Lembong.