Candi Brobodur Sejarah Warisan Budaya Indonesia
--
BacakoranRadarSeluma.net -
Salah satu situs warisan budaya terbesar di Indonesia dan merupakan salah satu keajaiban dunia yang tak boleh dilewatkan adalah cani Borobudur.
Popularitasnya sudah mendunia. Tidak heran, ribuan turis mengunjungi tempat wisata yang terletak di Magelang, Jawa Tengah.
Candi Borobudur sudah menyandang status Warisan Dunia oleh UNESCO sudah diakui dunia hingga menarik perhatian.
Candi Borobudur menjadi candi dan monumen Buddha paling besar di dunia. Candi ini dibangun oleh Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra, sekitar 824 hingga 900-an Masehi.
Pembangunan candi ini bertujuan untuk menjadi tempat ibadah serta tempat memuja roh-roh nenek moyang bagi umat Buddha, sekaligus sebagai lambang kebesaran kerajaan Buddha.
Raja Samaratungga memerintahkan arsitek Buddha bernama Gunadharma untuk membangun candi ini dan selesai dibangun pada masa kepemimpinan putrinya, Ratu Pramodawardhani.
Candi Borobudur memiliki ketinggian 42 meter dan terdiri dari sekitar dua juta blok batu yang disusun rapi tanpa menggunakan perekat, hanya ditumpuk sesuai pola batu.
Bangunan ini memiliki susunan yang berundak dan terdiri dari tiga tingkat dalam ajaran Buddha yakni Kamadhatu (alam nafsu), Rupadhatu (alam bentuk), dan Arupadhatu (alam tanpa bentuk).
Borobudur bukan hanya sekadar bangunan yang megah. Relief yang terukir di dinding-dinding candi menceritakan ajaran Buddha dan kisah kehidupan sehari-hari pada masa itu. Ada sekitar 2.672 relief di Candi Borobudur sebagai koleksi relief Buddha terbesar di dunia.
Selain itu, Borobudur juga dihiasi dengan 505 arca Buddha dan 72 stupa. Stupa-stupa tersebut berbentuk seperti lonceng yang berlubang dengan arca Buddha di dalamnya.
Borobudur pernah menjadi pusat kegiatan keagamaan Buddha hingga abad ke-15. Namun, seiring dengan penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, candi ini perlahan-lahan mulai ditinggalkan dan tertimbun oleh abu vulkanik serta tanah selama berabad-abad.
Borobudur yang seolah hilang dari pandangan dunia, akhirnya ditemukan kembali. Pada tahun 1814, seorang gubernur Inggris di Jawa, Sir Thomas Stamford Raffles, mendengar kabar mengenai adanya runtuhan bangunan besar. Ia kemudian mengutus perwira Belanda bernama H.C. Cornelius untuk memeriksa runtuhan tersebut.