PP 28 Tahun 2024, Menyisakan Tantangan Kesehatan Bayi

Jumat 27 Sep 2024 - 17:02 WIB
Reporter : Bacakoranradarseluma
Editor : Erlin Marfiansya

Koranradarseluma.net - Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam menilai Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023 merupakan tonggak penting perwujudan amanah UUD 1945,

memastikan kehadiran negara dalam pengaturan kesehatan di Indonesia. PP No.28 Tahun 2024 menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, merata, dan terjangkau oleh masyarakat.

"Upaya kesehatan tersebut ditujukan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat. Kami apresiasi niat baik pemerintah,” kata Piter.

“Meski demikian, UU Kesehatan tetap menyisakan sejumlah tantangan besar, khususnya dalam menindaklanjuti semua materi muatan UU Kesehatan ke dalam Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya,” lanjutnya. Piter memberikan beberapa contoh tantangan.

“Di satu sisi, PP memberikan kepastian hukum. Namun di sisi lainnya, PP ini berpotensi menciptakan kebingungan yang dapat berdampak pada upaya edukasi masyarakat sampai dengan perekonomian,” sebut Piter.

Menurutnya, UU Kesehatan dan PP nomor 28 memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha yang berkecimpung di sektor kesehatan. Pelaku bisnis bisa kembali fokus mengembangkan usaha dan memenuhi kebutuhan konsumen karena merasa telah memiliki batasan atau pagar yang jelas, sehingga tidak keluar dari koridor hukum.

Menilik soal kesehatan bayi, PP No.28 tahun 2024 menyatakan setiap bayi berhak memperoleh air susu ibu (ASI) eksklusif sejak dilahirkan sampai usia enam bulan, kecuali atas indikasi medis.

Pengecualian terkait indikasi medis ini juga sejalan dengan the International Code of Marketing of Breast-Milk Substitutes (WHO Code). “Dengan kata lain, PP No. 28 tahun 2024 mengakui bahwa susu formula dapat digunakan untuk menggantikan ASI ketika ASI Eksklusif tidak dapat diberikan dan donor ASI tidak tersedia.

Ini bentuk konfirmasi sekaligus validasi bahwa susu formula dapat dikonsumsi bayi usia 0-6 bulan,” kata Piter. Keberadaan susu formula dan upaya mendorong pemberian ASI Eksklusif seharusnya tidak perlu dipertentangkan. PP No. 28 tahun 2024, sebagaimana juga WHO, mengakui bahwa susu formula aman dan dapat diberikan kepada bayi ketika ASI tidak dapat diberikan oleh Ibu bayi ataupun oleh donor.

Terkait hal itu, menurut Piter, peraturan turunan PP No.28 Tahun 2024 sejatinya tidak perlu merubah ketentuan yang sudah ada saat ini, yaitu pembatasan kegiatan promosi susu formula sesuai dengan PP No. 69 Tahun 1999. “Bahwa PP sebelumnya (PP No.69 Tahun 1999) sudah mengatur ketat iklan tentang pangan yang diperuntukkan bagi bayi yang berusia sampai dengan satu tahun, di mana industri sudah ikut aturan main karena diatur secara ketat,” sebut Piter.

Piter menambahkan yang lebih penting dilakukan adalah edukasi mengenai nutrisi yang dapat dilakukan bersama antar pemangku kepentingan. Apalagi angka prevalensi stunting belakangan menunjukkan kondisi yang kurang menggembirakan.

Piter mengharapkan agar pemerintah bisa menjaga momentum positif ini untuk mengupayakan perbaikan status kesehatan dan kondisi perekonomian.

Diperlukan kondisi regulasi yang kondusif sehingga angka pemberian ASI Eksklusif terus meningkat, angka prevalensi stunting semakin membaik dan kontribusi industri nutrisi terhadap perekonomian juga terjaga.

Hal ini perlu dijaga di tengah-tengah trend pemberhentian hubungan kerja (PHK) yang terjadi akhir-akhir ini. Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, korban PHK industri manufaktur telah mencapai 46 ribu pekerja sepanjang 2024.

Industri tekstil, garmen dan alas kaki menjadi sektor terbesar penyumbang PHK akibat anjloknya permintaan konsumen dalam tiga tahun terakhir.

Kategori :