Batavia: Kota yang Lahir dari Darah dan Lada

Daerah Khusus Ibukota Jakarta--
koranradarseluma.net - Jakarta, ibu kota negara yang kini jadi simbol kemajuan, dulunya adalah pusat kolonialisme Eropa yang dibangun dari reruntuhan, tipu daya, dan pengkhianatan. Dari nama Sunda Kelapa menjadi Batavia, dan akhirnya Jakarta, kota ini memuat sejarah paling kompleks dalam penjajahan di Indonesia.
Sebelum kedatangan bangsa Eropa, Jakarta dikenal dengan nama Sunda Kelapa, pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Pada abad ke-16, pelabuhan ini menjadi rebutan antara Portugis dan kekuatan Islam dari Cirebon-Demak. Pada tahun 1527, pasukan Fatahillah dari Kesultanan Demak berhasil merebut Sunda Kelapa dari Portugis, dan mengganti namanya menjadi Jayakarta, yang berarti “kemenangan yang sempurna.”
Tahun 1619, Jayakarta hancur. VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen menghancurkan kota ini dan membangun kota baru: Batavia. Sejak itu, Batavia menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, dan militer VOC di Nusantara. Batavia dibangun dengan gaya arsitektur Belanda lengkap dengan kanal-kanal, benteng, dan gedung-gedung megah. Tapi di balik kemegahannya, kota ini dibangun di atas penderitaan dan eksploitasi pribumi.
Salah satu luka kelam dalam sejarah Batavia adalah pembantaian etnis Tionghoa tahun 1740. Akibat ketegangan ekonomi dan politik, ribuan orang Tionghoa dibantai oleh serdadu Belanda dan penduduk lokal yang dimobilisasi. Peristiwa ini menjadi penanda bahwa Batavia bukan hanya kota dagang, tapi juga kota represi dan diskriminasi.
BACA JUGA:Dampak Mengonsumsi Ganja, Antara Manfaat dan Risiko
BACA JUGA:Provinsi Bangka Belitung: Tanah Timah, Pengasingan, dan Perlawanan yang Terpendam
Selama lebih dari dua abad, Batavia menjadi simbol penjajahan Belanda di Indonesia. Kota ini menjadi pusat kekuasaan Gubernur Jenderal dan markas besar VOC, lalu Hindia Belanda setelah VOC bubar tahun 1799. Segala bentuk kebijakan kolonial, dari tanam paksa, kerja rodi, hingga pelarangan pers dan pendidikan, diatur dari kota ini.
Tahun 1942, Jepang menduduki Batavia dan mengganti namanya menjadi Jakarta. Meski hanya tiga tahun, masa Jepang memperkuat semangat nasionalisme dan menjadi masa penting dalam persiapan kemerdekaan. Pada 17 Agustus 1945, Jakarta menjadi saksi pembacaan Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Sejak saat itu, Jakarta tak lagi sekadar kota kolonial, tapi berubah menjadi ibu kota negara yang merdeka.
Meski berubah wajah, Jakarta masih menyimpan warisan kolonial seperti:
Kota Tua Jakarta: pusat Batavia masa VOC
Museum Fatahillah: bekas balai kota Batavia
Gereja Sion: gereja tertua di Jakarta
Stasiun Tua dan Jembatan Kota Intan
Semua itu menjadi pengingat bahwa kemerdekaan yang kita nikmati hari ini berdiri di atas sejarah panjang perjuangan melawan penjajahan.