Provinsi Jawa Barat: Dari Pajajaran ke Perlawanan Panjang

Gedung Sate, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat--
koranradarseluma.net - Jawa Barat adalah tanah yang menyimpan jejak kekuasaan kerajaan-kerajaan besar dan benturan peradaban kolonial selama berabad-abad. Wilayah yang kini dikenal dengan sebutan “Tatar Sunda” ini pernah menjadi pusat Kerajaan Pajajaran kerajaan Hindu terakhir di tanah Sunda yang runtuh akibat serangan Kesultanan Banten pada 1579. Runtuhnya Pajajaran bukan sekadar pergantian kekuasaan, tapi awal dari fase Islamisasi dan munculnya pusat kekuasaan baru di wilayah barat Pulau Jawa.
Masuknya Belanda ke Jawa Barat dimulai dengan langkah-langkah ekonomi yang kemudian berubah menjadi dominasi militer dan politik. VOC, kongsi dagang Belanda, memanfaatkan perseteruan antar-kesultanan dan kerajaan lokal. Kota-kota pesisir seperti Cirebon dan Karawang menjadi pangkalan penting bagi VOC untuk menguasai jalur perdagangan.
Kesultanan Cirebon, yang sudah mengalami pelemahan, dijadikan boneka oleh VOC. Sementara daerah-daerah pedalaman mulai dari Priangan hingga Tasikmalaya dimasukkan dalam sistem tanam paksa setelah VOC berubah menjadi Hindia Belanda.
Wilayah Priangan (Bandung, Sumedang, Garut, dsb.) menjadi lokasi eksperimen sistem tanam paksa kopi yang dikenal sebagai Priangan Stelsel. Petani dipaksa menanam kopi demi kepentingan ekspor VOC, tanpa imbalan yang layak. Sistem ini berlangsung lama dan menjadi akar penderitaan rakyat di wilayah ini. Bahkan, wilayah Priangan disebut sebagai “lumbung emas hitam” VOC.
BACA JUGA:Dampak Mengonsumsi Ganja, Antara Manfaat dan Risiko
BACA JUGA:Provinsi Bangka Belitung: Tanah Timah, Pengasingan, dan Perlawanan yang Terpendam
Perlawanan rakyat Sunda terhadap penjajah berlangsung dalam berbagai bentuk. Salah satu tokoh legendaris adalah Dipati Ukur, mantan bupati dari Kerajaan Mataram yang melawan VOC karena merasa pengkhianatan terhadap kesepakatan politik. Gerakan ini menjadi simbol perlawanan awal rakyat Sunda terhadap kolonialisme.
Setelah masa penjajahan Belanda, Jawa Barat juga menjadi pusat perlawanan terhadap Jepang—termasuk melalui laskar-laskar rakyat dan jaringan bawah tanah. Pasca-kemerdekaan, wilayah ini bahkan belum sepenuhnya tenang. Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo berpusat di Garut dan gunung-gunung Priangan. Gerilya mereka berlangsung hingga awal 1960-an dan menjadi salah satu fase konflik internal paling panjang dalam sejarah Indonesia.
Salah satu momen paling heroik di Jawa Barat terjadi pada 24 Maret 1946 saat rakyat dan pejuang membumihanguskan kota Bandung agar tidak jatuh ke tangan Belanda yang datang bersama Sekutu. Peristiwa ini dikenang sebagai Bandung Lautan Api, simbol keberanian dan tekad rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan.
BACA JUGA:Provinsi Sumatera Selatan: Tanah Sriwijaya, Api Perlawanan yang Tak Pernah Padam
BACA JUGA:Sejarah, Manfaat dan Kontroversi Ganja