Radar Seluma.Bacakoran.co

Provinsi Bengkulu: Tanah Pengasingan, Pemberontakan, dan Warisan Kolonialisme

Bunga Endemik Rafflesia Arnoldi, Propinsi Bengkulu--

Koranradarseluma.net - Bengkulu, dulunya dikenal sebagai Bencoolen, adalah satu dari sedikit wilayah di Indonesia yang pernah dikuasai langsung oleh Inggris sebelum diserahkan ke Belanda. Tapi sejarah Bengkulu tak hanya soal kolonial — ini adalah tanah perlawanan, tempat Bung Karno diasingkan, dan rumah bagi budaya Rejang, Serawai, dan Pekal yang sarat nilai.

Pada abad ke-17, Bengkulu adalah wilayah strategis yang diperebutkan oleh kekuatan dagang. Setelah gagal menguasai Banten dan Batavia, Inggris membangun koloni dagang di Bengkulu (1685) dan menjadikannya pusat perdagangan lada. Mereka mendirikan Fort Marlborough, benteng raksasa yang kini masih berdiri kokoh di pusat kota Bengkulu.

Namun, posisi Bengkulu yang terpencil, rawan malaria, dan sering konflik dengan masyarakat adat membuat koloni ini tidak stabil. Inggris akhirnya menyerahkan Bengkulu kepada Belanda melalui Traktat London 1824, sebagai tukar guling atas penguasaan Singapura.

Di bawah Belanda, Bengkulu menjadi bagian dari keresidenan Sumatera Selatan. Eksploitasi komoditas seperti kopi, karet, dan emas dijalankan melalui sistem tanam paksa dan kerja rodi. Banyak masyarakat adat, terutama suku Rejang dan Serawai, yang melakukan perlawanan lokal bersenjata, meski sering direpresi dengan kekerasan.

Namun Bengkulu juga menjadi tempat penting dalam sejarah kebangkitan nasional. Tahun 1938–1942, Ir. Soekarno diasingkan ke Bengkulu oleh pemerintah kolonial karena aktivitas politiknya. Di sinilah Bung Karno bertemu Fatmawati, wanita Bengkulu yang kemudian menjahit Sang Saka Merah Putih.

BACA JUGA:Dampak Mengonsumsi Ganja, Antara Manfaat dan Risiko

BACA JUGA:Provinsi Bangka Belitung: Tanah Timah, Pengasingan, dan Perlawanan yang Terpendam

Setelah Indonesia merdeka, Bengkulu masih lama berstatus sebagai keresidenan di bawah Sumatera Selatan. Baru pada 18 November 1968, Bengkulu diresmikan sebagai provinsi ke-26 Indonesia. Keterlambatan ini berimbas pada lambatnya pembangunan infrastruktur dan pendidikan.

Namun, Bengkulu punya sumber daya alam melimpah: tambang emas, batu bara, hingga hasil perkebunan seperti kopi dan cengkeh. Sayangnya, pengelolaannya sering dikuasai perusahaan besar dari luar, menyebabkan ketimpangan ekonomi dan kerusakan lingkungan, terutama di daerah pesisir dan pegunungan.

Bengkulu adalah rumah bagi budaya yang unik. Suku Rejang memiliki aksara Kaganga, salah satu warisan tertua di Indonesia. Ritual adat seperti Tabot, yang memperingati syahidnya cucu Nabi Muhammad SAW di Karbala, menjadi identitas budaya masyarakat kota Bengkulu.

Wilayah Serawai dan Pekal menyimpan jejak perlawanan spiritual dan budaya. Masyarakat adat masih memegang teguh sistem hukum adat, tanah ulayat, dan musyawarah mufakat. Kini, Bengkulu mulai menunjukkan geliat bangkit. Kawasan wisata seperti Pantai Panjang, Benteng Marlborough, dan Bukit Kandis mulai dikenal luas. Gerakan anak muda mendorong isu lingkungan, budaya, dan literasi.

Namun tantangan tetap besar: akses jalan, korupsi proyek infrastruktur, deforestasi, dan banjir tahunan menjadi masalah klasik. Tapi semangat mandiri masyarakat Bengkulu terus menyala, sebagaimana dulu Bung Karno mengguratkan gagasan besar dari tanah ini.

Bengkulu adalah tanah perlawanan dan pengasingan yang menumbuhkan pemikiran revolusioner. Di balik statusnya sebagai provinsi “sunyi”, Bengkulu menyimpan api semangat yang pernah menyulut kemerdekaan. Ia bukan hanya tapal batas Sumatera, tapi juga bagian dari nadi sejarah Indonesia.

BACA JUGA:Provinsi Sumatera Selatan: Tanah Sriwijaya, Api Perlawanan yang Tak Pernah Padam

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan